Sebelumnya saya tegaskan! Saya menulis artikel ini bukan karena
mengkampanyekan calon atau kandidat tertentu. Seperti sudah kita ketahui
bahwa dalam pemilukada DKI jakarta kemarin, pasangan yang lolos ke
putaran kedua adalah Foke-Nara (Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) dan
Jokowi-Ahok (Joko Widodo-Basuki Tjahaja). Yang “unik” dari pemilukada
DKI Jakarta sekarang adalah adanya kandidat yang memiliki latar belakang
non-muslim, walaupun hanya sebagai cawagub. Bagi saya ini sebuah
langkah yang berani karena mungkin ini adalah cawagub pertama sepanjang
sejarah Pemilukada DKI Jakarta yang berasal dari kalangan non-muslim.
Memang dulu pernah ada Gubernur DKI non muslim yaitu Henk Ngantung itu
pun dulu sebelum ada Pilkada langsung seperti sekarang.
Sebenarnya pada era demokrasi dewasa ini latar belakang agama sudah
tidak jadi sebuah isu yang harus dipermasalahkan. Namun apa mau dikata
ternyata masih saja ada kampanye-kampanye hitam (black campaign) bernada
sara dengan isu sentimen agama. Tapi faktanya warga Jakarta tidak
mempermasalahkan latar belakang agama sebagai acuan pilihan mereka, itu
terbukti dengan menangnya kandidat nomor urut 3 diputaran pertama.
Jika kita bicara pemimpin dan latar belakang agama, apakah pemimpin
muslim semuanya baik dan pemimpin non-muslim semuanya buruk atau
sebaliknya?
Pada saat zaman Rasulullah banyak para pengikutnya yang mengalami
penyiksaan di Mekah. Maka dari itu Rasulullah meyuruh pengikutnya untuk
pergi kesuatu negeri. “Jika kalian pergi ke negeri Abyssinia, disana
engkau akan mendapatkan seorang raja yang adil dan bijaksana. Suatu
negeri yang kalian bebas dan leluasa beragama. Sampai suatu saat Allah
memberikan jalan yang dapat menghindarkan penderitaan yang kalian
tanggung sekarang ini”. Raja yang dikisahkan ini bernama Negus yang
beragama Kristen. Ini membuktikan bahwa Rasulullah saja menyuruh
pengikutnya untuk pergi mencari perlindungan pada seorang raja yang
beragama kristen. (Dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Hal. 123, karya Martin Lings)
Kebijakan raja Negus ini juga tergambar dalam kisah, ketika para
pemimpin Quraisy meminta agar para pengungsi itu diserahkan kepada
mereka. Namun Negus berkata lain: “Tidak!, Demi Tuhan, mereka tidak
boleh dikhianati mereka telah meminta suaka perlindunganku dan
menjadikan negeriku sebagai tempat tinggal, serta telah memilihku dari
yang lainnya! Mereka tidak akan kuserahkan, sebelum aku memanggil mereka
dan menanyakan perihal mereka seperti yang dikemukakan utusan ini. Jika
memang benar, seperti yang dikatakan, maka mereka akan kuserahkan untuk
dibawa kembali kepada kaum mereka sendiri. Namun, jika tidak, aku akan
menjadi pelindung yang baik selama mereka meminta perlindunganku.” (Dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Hal. 125, karya Martin Lings)
Jika kita mengambil hikmah dari kisah diatas, bahwa kepemimpinan yang
baik dan bijak tidak harus hanya berpatokan pada latar belakang agama.
Apapun latar belakang agamanya dia bisa saja menjadi pemimpin yang bijak
atau menjadi pemimpin yang jahat.
Oleh : Diki Permana
Blogroll
Halaman Blogger Petani
Sample Text
Silahkan tinggalkan komentar Anda, karena setiap kritik dan saran Anda sangat membantu kami para petani untuk menulis blog ini menjadi lebih baik lagi.
email : akunbareng2@gmail.com
email : akunbareng2@gmail.com
Postingan Acak
Lagi Loading, Di mohon Sabar
Didukung oleh: Nelayan Sawah.
Senin, 06 Agustus 2012
Sentimen Agama Di Pemilukada DKI Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
om.. ceritanya mirip fim omar (umar bin khattab) yang tayang setiap hari dibulan ramaddah jem 4
BalasHapusGa tau! Tempat gw ga ada MNC. Cerita itu ada di film 'The Message'. Tp yg gw tulis disitu gw kutip dr biografi Nabi Muhammad karangan Martin Lings.
BalasHapus