Blogroll

Nelayan Sawah mengucapkan selamat Hari Sumpah Pemuda.

Sample Text

Silahkan tinggalkan komentar Anda, karena setiap kritik dan saran Anda sangat membantu kami para petani untuk menulis blog ini menjadi lebih baik lagi.

email : akunbareng2@gmail.com

Postingan Acak

Lagi Loading, Di mohon Sabar
Didukung oleh: Nelayan Sawah.

Minggu, 01 Mei 2011

Dongeng Papa Petani (chapter 1)

Setelah beberapa hari yg lalu gw nulis tentang prolog (permulaan) dari cerita ini, akhirnya sekarang gw bisa juga posting chapter pertamanya. Buat para pembaca blog nelayansawah yang mau baca cerita ini tapi belum sempet liat prolognya, supaya gak bingung dengan jalan ceritanya ada baiknya kalo liat dulu prolognya yang 'agak ngaco' itu disini.

Cerita ini sebenarnya gw buat karena terinspirasi dari cerita "Dongeng Ayah Monster"nya si Somad. Jadi buat yang penasaran sama cerita yang dibikin si Somad silahkan menuju ke TKP-nya di mari. Terima kasih....


***

Sore itu seperti biasa, kedamaian amat terasa di Negeri Nyonyong. Mentari senja bersinar di balik bukit, cahayanya redup seiring munculnya malam. Nyiur melambai ditiup angin sore yang sejuk, burung-burung saling berkicau bersahutan dari puncak-puncak pepohonan. Dan terdengar cengkrama para petani berjalan pulang bersama setelah penat seharian di ladang. Di atap sebuah rumah, seorang gadis kecil duduk santai sambil menikmati indahnya pemandangan itu. Terlihat sesekali ia menyibakkan rambutnya yang hitam panjang kebelakang. Sambil memeluk kedua kakinya, ia mendongak keatas, melihat segerombolan burung yang hendak kembali ke sarang.
Azmin, begitulah orang tuanya memberikan nama. Putri seorang tuan tanah yang baik hati bernama Mbah Arun. Meskipun berasal dari kalangan atas, Azmin tidak pernah membeda-bedakan temannya. Seluruh penduduk desa mengenalnya sebagai gadis kecil yang ramah, cantik dan mudah bergaul. Semua anak-anak di desa memanggilnya dengan sebutan “si jago main.” Agak tomboy dan tidak segan-segan berkelahi dengan anak lelaki jika ada yang mengganggunya. Meski telah dilarang oleh ibunya untuk tidak berkelahi, namun Azmin tidak pernah menggubrisnya dan hampir setiap hari ia pulang dengan pakaian kotor dan luka lecet di tubuhnya.
“Min! azmin!” panggil seorang anak dari bawah. Azmin melongok sumber suara, terlihat seorang anak berlari keluar rumah.
“Aja apa Jang?” Tanya dia kepada anak itu.
“Hari udah sesore ini, kamu gak pulang?”
Azmin kaget, tanpa terasa matahari telah terbenam. Ia teringat pesan ibunya agar hari ini tidak main sampai sore. Gadis kecil itu pun segera turun lewat atap kereta kuda yang ‘diparkir’ didekat situ.
“Hehe, maaf… aku keasyikan diatas sana. Gak kerasa lupa pulang.”
“Udah gelap begini, kamu mau diantar bapakku gak?”
“Ah, enggak usah, aku bisa pulang sendiri koq.”
Tanpa buang-buang waktu ia segera berlari dengan cepat menuju rumahnya meninggalkan anak itu.
“Dah, Ujang…!!” pamit Azmin sambil berlari.
Anak itu diam melongo dan hanya mengangkat tangan tanpa melambaikannya.
Akhir-akhir ini Azmin mulai tidak nyaman berada di rumahnya sendiri. Semenjak Abud, adik kecilnya yang baru berusia beberapa bulan itu dinobatkan oleh dukun yang paling terkenal di Negeri Nyonyong sebagai calon juru selamat, rumahnya jadi seperti penjara. Disetiap sudut rumah dijaga oleh prajurit kerajaan dan setiap orang yang masuk selain keluarga Mbah Arun harus melalui pemeriksaan ketat. Itulah sebabnya ia lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah dan bersantai dirumah teman-temannya termasuk rumah si Ujang tadi.
Setelah beberapa menit, Azmin sampai di depan halaman rumahnya. Terlihat beberapa orang prajurit berdiri tegak di samping pintu gerbang. Mereka pun segera membuka pintu setelah mengetahui gadis itu pulang ke rumah. Azmin berhenti sejenak sambil menghela nafas.
“Haduh… kenapa pulang sesore ini?” Tanya seorang prajurit kepadanya. “Bukannya kamu disuruh ibumu untuk jangan pulang sore-sore?”
“Hufft… iya maaf, tadi Azmin keasyikan sampai lupa pulang pak! Hehe..” Jawabnya sambil cengengesan.
“Ha? Neng Azmin udah pulang?” seru seorang mbok pelayan sambil berlari menghampirinya. Ia memeriksa wajah dan lengan anak itu dengan penuh cemas. “Neng Azmin hari ini gak berkelahi lagi kan?”
Azmin menggeleng sambil tersenyum. Sang pelayan itu pun bernafas lega.
“Hah! Ayo cepat neng Azmin, neng harus segera mandi dan ganti pakaian. Sebentar lagi ada yang mau datang.” Seru Pelayan itu sambil menarik tangan Azmin menuju ke rumah.
“Aduh, pelan-pelan mbok…!” pinta Azmin yang kesulitan mengimbangi larinya si mbok. “Pak prajurit! Udah dulu ya, Saya mau masuk!”
“Iya neng!” seru para prajurit itu.
Mereka pun kemudian berlari melewati jalan setapak dengan pepohonan rindang berdiri disekelilingnya. Dari kejauhan terlihat atap sebuah rumah yang cukup besar dengan cahaya lampu yang bersinar terang dari dalamnya, itulah rumah kediaman keluarga Mbah Arun. Di depan teras rumahnya terdapat sebuah pintu masuk yang sangat besar dan setinggi hampir tiga meter lengkap dengan sepasang patung selamat datang berbentuk bagong dari logam tembaga di sisi kanan dan kirinya. Di sekitarnya terdapat dinding dengan ukiran-ukiran yang indah dan tiang-tiang penyangga dari kayu jati yang tinggi menjulang,  terlihat pula beberapa orang penjaga yang segera membukakan pintu begitu melihat Azmin dan  si mbok yang muncul dengan terburu-buru.
“druuuup..!!” terdengar suara nyaring dari pintu masuk yang tengah di buka oleh beberapa orang, seketika itu juga cahaya terang bersinar dari baliknya. Sesampainya mereka di dalam, terdapat sebuah ruangan yang cukup besar dengan tirai-tirai merah menutupi dinding dan lantai berlapis batu marmer berwarna abu-abu. Diatas langit-langitnya, tergantung indah hiasan-hiasan lampu dari Kristal yang bersinar terang. Tepat di tengah ruangan tersebut, diletakkan sebuah lingkaran air mancur indah yang berbentuk seorang dewi dengan air mengucur dari kedua tangannya yang tengah mengangkat keatas. Di sekelilingnya disusun pula sofa-sofa yang empuk dengan ukiran-ukiran indah di setiap sisinya. Terdapat pula pelayan-pelayan berpakaian rapih yang sesekali menyapa Azmin, kelihatannya mereka tengah sibuk hendak mempersiapkan sesuatu.
“Sebenarya ada apa sih, mbok?” Tanya Azmin penasaran melihat para pelayan yang berlalu lalang.
“Udah, pokoknya neng harus bersih-bersih dulu, nanti juga neng Azmin tau,” jawab si mbok yang makin mempercepat langkahnya saat menaiki tangga menuju kamar Azmin di lantai dua. “Dari tadi Gusti Kanjeng udah khawatir karena Neng Azmin gak pulang-pulang. Sebentar lagi aja Neng gak pulang, pasti para prajurit disuruh nyariin si Neng.” Jelas si mbok.
Mendengar penjelasan si mbok, Azmin pun tersenyum kecil sambil menggigit lidahnya, “hihi.. maaf.”
Kemudian mereka pun masuk ke sebuah kamar yang cukup luas dengan hiasan yang serba merah muda. di sisinya terdapat sebuah kamar mandi mungil dengan bak tempat berendam yang telah diisi air hangat. Beberapa orang gadis muda pun terlihat sibuk tengah merapihkan gaun kecil yang nantinya akan dipakai oleh Azmin.
Di luar rumah, terdengar suara serombongan kereta kuda yang semakin lama semakin mendekat. Para prajurit penjaga pintu pun segera bersiap menyambut tamu yang telah dinantikan tersebut. Dari balik jalan setapak yang tadi dilewati Azmin dan si mbok, muncullah kereta-kereta kuda berwarna merah tua yang dengan sigap berhenti tepat di depan pintu masuk. Dari salah satu kereta kuda yang terletak di tengah-tengah rombongan, turunlah seorang pria paruh baya berpakaian ala bangsawan menggandeng seorang wanita dengan gaun biru yang cantik. kemudian dibelakangnya ikut turun seorang bocah tambun dengan ingus yang keluar dari hidungnya. Lalu Mbah Arun sang mpunya rumah beserta istrinya yang tengah menggendong Abud berjalan keluar dan segera manyambut dengan akrab tamu tersebut.
Tidak lama kemudian, keluarlah Azmin dari kamarnya dengan berpakaian gaun putih dengan rumbai yang dihiasi bunga-bunga. Sejenak, gadis kecil itu menjadi pusat perhatian para pelayan dan prajurit yang kebetulan melihatnya. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia melangkah dengan perlahan. Wajah imutnya yang memerah karena malu membuat gadis itu semakin terlihat manis. Ditambah lagi dengan hiasan bunga mawar yang diikat di rambutnya yang hitam panjang dan dibiarkan terurai, serta wangi semerbak yang langsung tercium ketika ia berjalan di dekat mereka semakin menambah keanggunan dan kecantikannya.
“Hahaha… iya, jadi dulu Saya dan Mister Frederick ini teman kuliah..” terdengar suara keras sang ayah dari kejauhan. Azmin menelan ludahnya dan berjalan dengan gugup menuju sumber suara tersebut diiringi pelayan-pelayan yang lain. Jantungnya berdegup kencang karena merasakan firasat yang tidak enak. Dari balik tirai yang menutupi sebagian pintu masuk, ia melihat sesosok anak gendut dengan rambut klimis belah tengah yang sedang duduk manis mendengar pembicaraan orang tuanya. hidungnya tak henti-henti menghisap ingus yang terus mengalir keluar.
Anak jorok, gumam Azmin sambil kakinya melangkah mundur. Namun si mbok yang berdiri di belakang segera memegang pundaknya dan mendorongnya ke depan.
“Mbok..!” seru Azmin setengah berbisik. Tanpa sadar, si Mbok mendorongnya hingga masuk ke ruangan. Mbah Arun yang melihat Azmin langsung memperkenalkan putrinya itu.
“Nah, perkenalkan.. inilah putri Saya, Azmin,”
Seketika, seluruh mata di ruangan itu tertuju padanya, dilihatnya seorang pria dan wanita bule dengan pakaian ala bangsawan segera bangkit dari kursinya seketika melihat penampilan Azmin yang memukau. Sang ibu pun sangat terkejut melihat putri kecilnya yang malam itu berpenampilan begitu cantik. Bahkan para pelayan dan penjaga tak dapat menahan rasa kagumnya saat melihat pesona Azmin yang begitu berbeda dengan yang biasanya.
“Wow, beautiful…” ucap sang pria bangsawan. “It’s… wonderfull…” sambung sang istri bangsawan.
Kemudian Mbah Arun mengayunkan kelingkingnya kepada Azmin seakan mengisyaratkan sesuatu. Melihat hal itu, Azmin langsung tersadar akan sesuatu, kemudian ia pun segera menundukkan badan dan mengangkat sedikit gaun yang dikenakannya.
“Thank you…” ucapnya dengan manis.
Azmin menoleh kearah anak ingusan tadi, anak itu pun balas menoleh, kemudian tersenyum dengan lebar padanya. Dalam hatinya, Azmin terus bertanya-tanya, acara apakah yang tengah berlangsung itu? Namun sesaat ia teringat tentang omongan kedua orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putra seorang bangsawan dari Negeri jauh yang dahulunya adalah sahabat sang Ayah.
Astaga! Ini adalah acara perjodohan!? gumam Azmin dalam hati.


Bersambung…

1 komentar:

  1. Lanjutkan,,,!
    Semakin aneh ceritanya semakinya seru!

    (zenius)

    BalasHapus

Buat pembaca yang gak pake akun, kalo mau berkomentar pilih "beri komentar sebagai : Name/URL"

Name-nya ditulis nama, untuk URL-nya dikosongin ajah..

terima kasih